Nguri uri budaya Jawa kang adiluhung

Aja sira age-age nandangi pakaryan gede,utawa ngarep-arep tekane pakaryan gede,amarga pakaryan gede iku arang tekane,kang kerep sira sandung iku pakaryan kang cilik-cilik.Sira aja ngremehake marang pakaryan kang cilik-cilik iku,sabab yen sira durung kulina nandangi pakaryan kang gampang,kapriye anggonira bakal nandangi pakaryan kang angel.Mulane samubarang kang tinemu ing tanganira,lakonana kalawan temen-temen ing ati suci,atasna awit Karsaning Gusti,amarga ora ana pakaryan ing donya iki kang ora atas Karsaning Pangeran,nadyan kang katone remeh pisan.

Rabu, Agustus 11, 2010

Prabu Siliwangi

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira“.
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
Masa muda
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”.
Perang Bubat
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya (”silih”nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah “seuweu” Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus “langsung” dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Keterangan lain tentang perang bubat
Keterangan tentang bubat yang dimuat harian Suara Merdeka adalah sebagai berikut:
“Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rombongan Kerajaan Sunda ini di gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rombongan punah. Akibat perang Bubat inipula, maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi renggang“.

Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan rujukan, Guguritan Sunda, yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. disimpan di Universitas Ohio.


sumber : www.allbandung.com

Kamis, Agustus 05, 2010

Mengenang Maestro Batik Iwan Tirta


Selamat Jalan Pejuang Budaya.Aku bangga padamu.Kau menjunjung dan melestarikan budaya leluhur bangsa.Batik jalan hidupmu.Semoga ruh semangat juangmu mengembangkan batik tetap tumbuh di dalam generasi sekarang dan yang akan datang.
Selamat jalan pejuang budaya batik.Semoga Tuhan menerima jiwamu.Amin. ( Antonius Tumino; 5 Agustus 2010 )





Dalam hal pelestarian budaya tradisional Indonesia, namanya tidak diragukan lagi. Ia berhasil ‘menjual’ batik khas Indonesia hingga ke mancanegara. Meskipun pendidikan formalnya adalah School of Oriental and African Studies di London University dan master of laws dari Yale University, Amerika Serikat, ia justru menemukan dunianya sebagai desainer yang cinta batik.


Sumbangan pria kelhariran Blora, Jawa Tengah, 18 April 1935 ini yang paling nyata adalah ketika dia berhasil mentransformasi batik dari selembar kain batik yang secara tradisional digunakan dengan dililitkan di tubuh menjadi gaun indah yang tidak kalah dengan gemerlap dari Barat. Kepraktisan berbusana cara Barat perlahan tetapi pasti memang telah menggerus cara berbusana tradisional perempuan Jawa, dan Iwan berhasil memadukan keindahan batik dengan kepraktisan pakaian ala Barat.

Nusjirwan Tirtaamidjaja yang dikenal dengan nama Iwan Tirta mulai bersentuhan dengan batik pada tahun 1960-an. Saat itu ia sedang bersekolah di Amerika Serikat. Selama di sana, ia sering mendapat pertanyaan tentang budaya Indonesia yang kemudian membuatnya ingin mengenal lebih jauh budaya negerinya sendiri.

Sebenarnya, Iwan Tirta sudah bersentuhan dengan budaya khususnya budaya Jawa sedari kecil. Iwan berdarah campuran Purwakarta, Jawa Barat, dari ayahnya Mr Moh Husein Tirtaamidjaja, anggota Mahkamah Agung RI (1950-1958), dan Sumatera Barat dari ibunya yang berasal dari Lintau. Iwan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, belajar mengenai budaya Jawa ketika orangtuanya menjelma menjadi priayi Jawa saat ditugaskan di Jawa Tengah.

Ketertarikan secara khusus kepada batik lahir ketika atas dana hibah dari Dana John D Rockefeller III Iwan mendapat kesempatan mempelajari tarian keraton Kesunanan Surakarta. Di sanalah Iwan memutuskan mendalami batik dan bertekad mendokumentasi serta melestarikan batik. Hasil penelitiannya ia simpulkan dalam bukunya yang pertama, Batik, Patterns and Motifs pada tahun 1966.

Kepekaan seni dan pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan dari Timur dan Barat membuatnya mampu membawa batik menjadi busana yang diterima bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Tiga puluh tahun kemudian, pemahaman dan pengalamannya tentang batik yang semakin matang ia tuangkan dalam bukunya Batik, A Play of Light and Shades (1996).

Selain merancang busana, Iwan juga sampai kepada seni kriya lain. Berkat kedekatannya dengan kalangan keraton Jawa, Iwan mulai ‘bermain-main’ menumpahkan jiwa seninya ke atas perak. Motif modang, misalnya, dijadikan ragam hias pada tutup tempat perhiasan, sementara seperangkat tempat sirih peraknya menghiasi lobi Hotel Dharmawangsa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia juga mendesain perangkat makan porselen dengan menggunakan motif batik. Energi kreatifnya juga tersalur dengan merancang perhiasan yang inspirasinya dari perhiasan keraton.

Setelah puluhan berkarya, Iwan membagikan sedikit kunci keberhasilannya. "Kuncinya adalah pendidikan dan riset. Kita sangat kurang dalam dua hal itu," kata Iwan yang selalu berkemeja batik dalam setiap acara, tetapi siap pula mengenakan celana pendek denim dengan kaus ketat ketika di rumah dan siap membatik.

Iwan terus mendokumentasikan motif batik tua, termasuk milik Puri Mangkunegaran, Solo, ke dalam data digital dan ke atas kertas dengan bantuan pengusaha Rachmat Gobel. Data tersebut menjadi pegangannya dalam mengembangkan motif baru yang terus dia kembangkan sesuai selera zaman dengan tetap mempertahankan ciri khasnya, yaitu antara lain warna yang cerah dan motif berukuran besar.

Saat Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono memintanya untuk ikut menyumbangkan pemikiran dalam pengembangan batik sebagai ikon nasional, Iwan mengutarakan keprihatinannya pada kondisi pendidikan, riset, dan kemampuan promosi Indonesia sebagai negeri batik. "Sekarang Malaysia ke mana-mana mengaku batik sebagai milik mereka. Itu karena kita tidak punya kemampuan public relations," kata penerima Anugerah Kebudayaan 2004 kategori individu peduli tradisi ini.

Dengan fasih Iwan menjelaskan di mana kekuatan batik Jawa yang menjadi dasar batik nasional yang tidak bakal bisa ditiru negara lain. Pertama adalah adanya teknik yang pasti, yaitu penggunaan malam dan canting; kedua, adanya pakem berupa ragam hias dengan dasar geometris nongeometris; ketiga, jalinan erat dengan budaya lain; dan ketidakterikatan dengan satu agama tertentu.

"Itu semua kekuatan batik Indonesia yang tidak dipunyai bangsa lain, tetapi untuk mengeluarkan potensi ini perlu pendidikan dan riset," kata Iwan kukuh.

Keyakinan itu dan tugas baru yang disandangnya membuat Iwan bertekad akan mengabdikan hidupnya sebagai emban seni kriya Indonesia. "Tugas emban itu ya mengasuh, mendampingi, untuk semua, tidak hanya batik Iwan Tirta," tuturnya.

Dalam usianya yang semakin senja, Iwan malah merasa masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya. "Banyak hal yang harus dilakukan kalau ingin bertahan dan bahkan berkembang. Saya masih punya banyak ide untuk mengembangkan batik, perak, porselen, dan perhiasan, tetapi waktu kok rasanya singkat sekali," kata Iwan di rumahnya yang kental dengan suasana Indonesia. Dalam batinnya masih lekat keyakinan bahwa batik adalah hidupnya. "Saya tidak melahirkan batik, tetapi saya akan terus mengasuh dan memelihara yang ada. Seperti tugas emban."

Di teras samping rumahnya terpampang dua galaran yang padanya tersampir dua kain batik yang masih dalam proses pembuatan motif dengan menggunakan malam. "Saya masih terus membatik, tetapi malam hari. Lebih enak karena sepi. Saya akan terus membatik sampai tanganku buyutan," kata Iwan diiringi tawanya yang khas. Buyutan adalah istilah umum untuk tangan yang bergetar karena usia lanjut.

Sumber: tokohindonesiadotcom